• Gempa Bali 2011

    Mari kita doakan saudara-saudara kita yang ditimpa bencana gempa 6,8 SR di Bali pada tanggal 13 Oktober 2011

  • Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Majalah SIMBA

    agi Anda penggemar menulis silakan manfaatkan majalah SIMBA. Majalah ini terbuka untuk siapa saja, mulai siswa SD, SMP, SMA, dan SMK. Bagi yang mau nulis di SIMBA, silahkan tulisannya ke : majalahsimba@gmail.com.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Minggu, 16 Oktober 2011

GIRING-GIRING PERAK


Episode1
Bukit Tambun Tulang 
Bag (1)


PEDATI yang berjalan paling depan tiba-tiba dihentikan. Dua-puluh pedati lainnya yang berjalan di belakang berhenti pula
"Kenapa berhenti?" Seorang lelaki yang ber jalan di sisi pedati yang kesepuluh bertanya pada teman di depannya.
"Entahlah. " jawab yang ditanya.

Kemudian dia menoleh ke depan, lalu berseru.
"Ahooi, kenapa berhenti di sini?"
Tak ada jawaban. Perempuan-perempuan menyembulkan kepalanya dari dalam pedati tersebut. Seorang lelaki kelihatan berjalan dari depan.
Dan yang di depan ke belakang. Nampaknya ada pesan beranting yang disampaikan.
Dalam waktu singkat, lelaki-lelaki pengiring pedati itu sudah berkumpul di depan sekali. Di dekat pedati Datuk Sipasan yang bertindak sebagai pimpinan rombongan.
Datuk itu yang bertubuh besar dan kelihalan "berisi", duduk di sebuah batu besar. Dia melemparkan pandangannya pada seluruh lelaki yang kini tegak mengelilinginya. Menatap wajah mereka. Melirik tombak di tangan atau pedang dan keris di pinggang mereka. Mulutnya mengunyah sugi tembakau. Kemudian meludahkannya ke tanah.
"Kalian lihat bukit itu?" katanya tanpa menoleh tapi ibu jarinya dia acungkan ke belakang.
Semua lelaki yang jumlahnya 23 orang itu meng-ibu jari Datuk, ini. Mereka memang melihat sebuah bukit. Dipenuhi hutan belantara. Dan nampaknya kini mereka tengah menuju ke arah bukit tersebut. Beberapa orang mengangguk. Tapi lebih banyak yang diam.

"Itulah Bukit Tambun Tulang." Datuk itu bicara lagi, seperti tak acuh..

Kali ini semua lelaki di depannya pada menoleh kembali ke bukit tersebut. Kalau tadi dengan sikap tak mengerti, atau tak acuh, kini dengan sedikit berdebar. Bahkan ada yang melihat bukit itu dengan sedikit rasa takut.

"Bukit Tambun Tulang?" tanya seseorang dengan nada lemah.

Datuk Sipasan tak menyahut. Mengeruk kantong bajunya, mengambil segumpal tembakau. Meremasnya kuat-kuat. Membuat tembakau itu mirip kelereng, atau godok kecil. Kemudian menyelipkannya ke mulut, jadi sugi. Lalu dengan sikap hampir-hampir tak acuh dia bicara.

"Tak ada jalan lain. Ini satu-satunya jalan yang terdekat, dan mudah untuk mencapai Luhak Tanah Datar..."

"Terdekat, mudah, tapi belum tentu aman..." seseorang lelaki gemuk memakai Golok di pinggang menyambung ucapan Datuk itu. Semua yang hadir pada menoleh padanya.

"Kenapa pakai kalimat belum tentu aman?" Jalan ini memang paling tidak aman!" Datuk Sipasan menegaskan. Mulutnya berpiuh-piuh memainkan suginya.

"Lalu bagaimana?"

"Kita akan terus!" jawab Datuk Sipasan

."Apakah di bukit itu masih ada penyamun?" tanya yang bertanya barusan. :"Ada...!" Datuk itu menjawab pasti. Meski wajahnya tetap saja tak acuh.

"Dari mana Datuk tahu?"
Datuk itu tak menjawab. Tapi menatap orang yang bertanya itu. Kemudian menalap yang lain-lain.Lalu kembali menatap yang bertanya tadi. Kemudian dia tegak dari batu besar di mana dia duduk. Lalu meloncat ke bawah.

"Naiklah ke batu itu..." katanya pada lelaki yang bertanya tadi. Lelaki tadi tak mengerti. Tapi dia naik juga kebatu besar di mana Datuk itu tadi duduk.
"Lihatlah ke belakangmu, di bawah..."

Datuk Sipasan bicara ketika lelaki itu sampai di atas., Lelaki itu menurut. Tiba-tiba terdengar seruannya. Dan saat berikutnya dia terlompat turun dengan wajah pucat. Yang lain pada berpandangan. Dua orang naik ke atas. Melihat ke bawah. Dan mereka juga pada berseru kaget, kemudian cepat-cepat turun dengan muka pucat. Beberapa orang naik, melihat ke bawah. Dan hampir semuanya terkejut dan turun dengan muka tak sedap, Di belakang batu besar itu, sesosok jadi mayat terhantar dengan baru saja mati dengan leher hampir putus. Nampaknya baru saja mati sehari dua ini. Mayat itu tertelentang. Menghadap ke atas, kearah arah orang yang melihat ke bawah dari batu itu. Menatap dengan mata yang mendelik dan mulut menganga mengerikan. Kini semua pada tertegak kaku di tempat mereka masing-masing.

"Siapa yang ingin kembali, silahkan. Yang ingin terus tapi ingin mencari jalan lain, juga disilahkan. Saya akan terus mengambil jalan yang melintasi Bukit Tambun Tulang ini. Siapa yang ingin ikut, juga disilahkan".
Datuk Sipasan berkata setelah meludahkan tembakau suginya. Ketika dia berhenti bicara, tak seorangpun yang menyahut. Dan dia yakin, semua akan mengikutinya.

"Peringatkan pada semua perempuan, bini atau anak kemenakan kalian, agar tak
memperlihatkan diri sejak saat ini. Dan kalaupun terjadi pertempur-an, mereka harus tetap saja dalam pedati. Begitu lebih selamat untuk.mereka".
"Bagaimana kalau kita kalah Datuk?"
"Kekalahan berarti kematian"
"Ya, bagaimana kalau kita kalah kemudian mati?"
"Mereka bisa memilih melawan sampai tetes darah terakhir, atau merelakan diri diperkosa, atau jadi isteri penyamun-penyamun itu".
"Tak ada jalan lain?"
"Ada, yaitu memenangkan perkelahian!" Setelah itu tak ada yang bicara. Sampai saat mereka kembali ke pedati masing-masing mereka tetap diam. Lalu bicara perlahan pada perempuan-perempuan yang ada di pedati.
Kemudian diam-diam mereka mulai medecahkan mulut, menghalau kerbau yang menarik pedati tersebut. Dan kafilah pedati itu mulai mendaki kaki Bukit Tambun Tulang yang terkenal angker dan angkuh. Bau bangkai tercium di mana-mana. Tak ada suara. Bahkan binatang rimbapun seakan ngeri berada di rimba lebat yang menyelimuti Bukit Angker tersebut.
Tiba-tiba ketika mereka mendekati hampir di pinggang bukit kecil itu ada suara murai. Sekali. Dua kali. Kemudian ada suara gagak.

Datuk Sipasan yang berjalan paling depan segera arif. Bunyi itu bukan bunyi burung. Tapi suara manusia yang meniru suara burung dengan sempurna. Dan dia juga arif, bunyi itu adalah semacam isyarat dalam rimba tersebut. Datuk ini tetap menggusurkan sugi di mulutnya dengan tenang. Lelaki-lelaki lainnya, yang mengiringkan pedati mereka menuruti jalan menanjak itu semua pada diam. Mereka memegang hulu golok atau tombak dengan waspada. Perempuan-perempuan pada merapatkan diri di sudut yang paling jauh dalam pedati mereka.
Kini rombongan itu sudah sampai di pinggang Tambun Tulang tersebut. Pedati yang paling depan, yaitu Pedati milik Datuk Sipasan sudah .berbelok di sebuah tikungan.

Senin, 06 Juni 2011

Perjalanan Menuju Lembah Manglayang


Ilfendri di depan kampus IPDN
 UN pun telah berlalu namun arah dan tujuanku utuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi msih buram. Dalam hidupku kemana pun aku akan melangkah pasti selalu minta saran dari org yang lebih mengetahui dari padaku, ku minta saran dari keluarga, guru-guru ku, dan teman-teman... Dari semuanya itu hanya ada 1 kesimpulan agar aku harus kuliah... Mengingat orang tua ku hanya seorang pedagang, kurang semangatku kalau hanya kuliah biasa. Walaupun orang tua ku pasti kan berusaha menguliahkan ku, namun ku tetap berfikir bagaimana ku tidak akan menyusahkan mereka lgi.. Aku hanya berfikir hanya sekolah di sekolah kedinasan lah yang akan meringankan beban orang tua ku... Hanya ada 2 sekolah yang harus ku duduki namun agar duduk di sana sangat tidak mudah...
Semenjak kecil hanya 1 keinginan ku untuk mengikuti pendidikan di AKPOL kemudian setelah mengikuti tes di sana pada tes awal saja ku sudah gagal... Ada sedikit kecewa pada diriku..
Yang pada ketika itu lamaran masuk IPDN pun sudah ku masukan.. Mengingat kata orang orang IPDN merupakan sekolah anak pejabat.. Ku tetap yakin ku pasti bisa bersekolah di sana, aku hanya seorang anak pedagang biasa.. yang hanya pejabat di pasar... Berkat
Sokongan dri sekolah,keluarga, dan dengan keyakinanku ku tetap mengikuti tes di sana... Namun orang tua ku masih terpengaruh dengan kata-kata orang jika masuk ke IPDN harus menyiapkan uang yang banyak... Namun ku tak mempedulikan itu. Ku hanya tetap dengan keyakinanku pasti bisa sekolah di sana.. Ketika itu memang hanya 4 hal yang ku lakukan
menyerahkan smuanya pada Allah dan tidak lupa shalat thajud. Minta doa orang tua, keluarga, guru,  dan teman-teman. Sering berlatih. dan tak lupa yakin dengan kemampuan.
Tes pertamaku sangat sedih karena ku harus meninggalkan orang tua ku. Ku bersujud di kaki mereka air mataku pun tak tertahankan lagi.. Alhamdulillah tes di provinsi aku lulus semuanya... Kemudian aku harus berangkat menuju kampus IPDN pusat yang berada di Jati Nangor yang berada tepatnya di lembah manglayang.. Air mataku meninggalkan keluarga tak terathankan lagi.. Hanya 1 tekadku yaitu ku harus berubah jangan sampai ku seperti orang tua ku... Sampai di sana aku sangat bangga melihat kmpus yang sangat megah. Ku yakin pasti bisa mengkuti pendidikan di sini, alhamdulillah aku akhirnya lulus di IPDN dan kenyataan kalau yang bersekolah di IPDN anak pejabat dan membutuhkan biaya yg besar tidak terbukti... Aku sangat bersyukur kepada Allah. Dan sangat berterima kasih pada orang tuaku, guru-guruku, keluarga, dan teman-teman yang selalu menyok6ng. Akhirnya Aku yang hanya seorang anak pedagang bisa sekolah di sini, aku sangat bangga... Mudah2an aku berhasil mengkuti pendidikan di sini dan berguna bagi semua orang serta dapat dibanggakan...(admin)